Sabtu, 14 November 2009

Good Corporate Goverment di Indonesia

Pendahuluan
Dalam rangka economy recovery, pemerintah Indonesia dan International Monetary Fund (IMF) memperkenalkan dan mengintroduksir konsep good corporate governance (GCG) sebagai tata cara kelola perusahaan yang sehat (Sulistyanto & Lidyah, 2002). Konsep ini diharapkan dapat melindungi pemegang saham (stockholders) dan kreditur agar dapat memperoleh kembali investasinya. Penelitian yang dilakukan oleh Asian Development Bank (ADB) menyimpulkan penyebab krisis ekonomi di negara-negara Asia, termasuk Indonesia, adalah (1) mekanisme pengawasan dewan komisaris (board of director) dan komite audit (audit committee) suatu perusahaan tidak berfungsi dengan efektif dalam melindungi kepentingan pemegang saham dan (2) pengelolaan perusahaan yang belum profesional. Sehingga penerapan konsep GCG di Indonesia diharapkan dapat meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan pemegang saham tanpa mengabaikan kepentingan stakeholders.

Good corporate governance secara definitif merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua stakeholder. Ada dua hal yang ditekankan dalam konsep ini, pertama, pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar (akurat) dan tepat pada waktunya dan, kedua, kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclosure) secara akurat, tepat waktu, dan transparans terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan, dan stakeholder (YPPMI & SC, 2002). Atau secara singkat, ada empat komponen utama yang diperlukan dalam konsep GCG ini, yaitu fairness, transparancy, accountability, dan responsibility. Keempat komponen tersebut penting karena penerapan prinsip GCG secara konsisten terbukti dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan (Beasly et al., 1996). Chtourou et al. (2001) juga mencatat prinsip GCG yang diterapkan dengan konsisten dapat menjadi penghambat (constrain) aktivitas rekayasa kinerja yang mengakibatkan laporan keuangan tidak menggambarkan nilai fundamental perusahaan.

Rekayasa kinerja yang dikenal dengan istilah earnings management ini sejalan dengan teori agensi (agency theory) yang menekankan pentingnya pemilik perusahaan (principles) menyerahkan pengelolaan perusahaan kepada profesional (agents) yang lebih mengerti dan memahami cara untuk menjalankan suatu usaha (YPPMI & SC, 2002). Namun pemisahaan ini mempunyai sisi negatif, keleluasaan manajemen untuk memaksimalkan laba akan mengarah pada proses memaksimalkan kepentingan manajemen sendiri dengan biaya yang harus ditanggung pemilik perusahaan. Kondisi ini terjadi karena asimetri informasi (information asymmetry) antara manajemen dan pihak lain yang tidak mempunyai sumber dan akses yang memadai untuk memperoleh informasi yang digunakan untuk memonitor tindakan manajemen (Richardson, 1998; DuCharme et al., 2000). Rekayasa ini merupakan upaya manajemen untuk mengubah laporan keuangan dengan tujuan untuk menyesatkan pemegang saham yang ingin mengetahui kinerja ekonomi perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil kontraktual yang mengandalkan angka-angka akuntansi yang dilaporkannya (Healy & Wahlen, 1998; DuCharme et al., 2000). Sehingga secara prinsipil manipulasi ini tidak sejalan dengan semangat GCG.

Indonesia mulai menerapkan prinsip GCG sejak menandatangani letter of intent (LOI) dengan IMF, yang salah satu bagian pentingnya adalah pencatuman jadwal perbaikan pengelolaan perusahaan-perusahaan di Indonesia (YPPMI & SC, 2002). Sejalan dengan hal tersebut, Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia mempunyai tanggung jawab untuk menerapkan standar GCG yang telah diterapkan di tingkat internasional. Namun, walau menyadari pentingnya GCG, banyak pihak yang melaporkan masih rendahnya perusahaan yang menerapkan prinsip tersebut. Masih banyak perusahaan menerapkan prinsip GCG karena dorongan regulasi dan menghindari sanksi yang ada dibandingkan yang menganggap prinsip tersebut sebagai bagian dari kultur perusahaan. Selain itu, kewajiban penerapan prinsip GCG seharusnya mempunyai pengaruh yang positif terhadap kualitas laporan keuangan yang dipublikasikan. Maka atas dasar uraian tersebut dan sejalan dengan penelitian Chtourou et al. (2001), penelitian ini ingin menguji apakah penerapan prinsip GCG mempunyai pengaruh positif terhadap kualitas laporan keuangan yang diukur dari keberhasilan ditekannya upaya rekayasa yang dilakukan manajemen.

B. Perumusan Masalah
Secara empiris terbukti bahwa penerapan prinsip good corporate governance (GCG) dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan dan menjadi constrain bagi aktivitas rekayasa kinerja yang dilakukan manajemen. Secara teoritis rekayasa yang dikenal dengan istilah earnings management ini bertujuan untuk menyesatkan pemakai laporan keuangan yang ingin mengetahui kinerja perusahaan dan untuk mempengaruhi hasil kontraktual yang mengandalkan angka-angka akuntansi. Rekayasa keuangan ini tidak sejalan dengan semangat GCG yang menekankan pentingnya keterbukaan, akuntabilitas, dan transparansi informasi yang akurat dan menggambarkan nilai fundamental perusahaan. Sehingga penerapan prinsip GCG di Indonesia sebenarnya diharapkan juga mempunyai pengaruh yang positif terhadap kualitas laporan keuangan yang tercermin dari menurunkan tingkat rekayasa yang dilakukan manajemen. Maka berdasarkan uraian tersebut, permasalahan dalam penelitiaan ini dirumuskan sebagai berikut: Apakah ada perbedaan antara rekayasa keuangan sebelum dan sesudah penerapan prinsip-prinsip good corporate governance?

C. Tujuan Penelitian
Rekayasa kinerja sebenarnya merupakan fenomena yang logis karena kesuperioran manajemen dalam menguasi informasi seputar perusahaan dibandingkan pihak lain. Namun dalam kerangka economy recovery, rekayasa keuangan ini tidak sejalan dengan semangat good corporate governance (GCG) yang menekankan pentingnya akurasi dalam melaporkan informasi mengenai perusahaan. Keakuratan ini penting agar informasi yang disampaikan dapat menggambarkan nilai fundamental perusahaan yang sesungguhnya, sehingga pemakai laporan keuangan dapat membuat keputusan yang lebih tepat. Sehingga dari uraian tersebut penelitian ini bermaksud menguji dan mencari bukti empiris apakah penerapan prinsip GCG di Indonesia telah memberikan hasil yang menggembirakan yang ditinjau dari turunnya tingkat rekayasa keuangan yang dilakukan manajemen ketika melaporkan kinerjanya. Atau dengan kata lain, ada perbedaan antara rekayasa keuangan yang dilakukan manajemen sebelum dan sesudah penerapan prinsip GCG.

D. Telaah Literatur dan Pengembangan Hipotesis
Asimetri informasi (information asymmetry) antara manajemen dan pemakai laporan keuangan memberi kesempatan dan mendorong manajemen bersikap oportunis dengan memperbaiki profil laba akuntansi (Richardson, 1998; Chambers, 1999). Sikap oportunis ini tidak sejalan dengan semangat good corporate governance (GCG), karena rekayasa keuangan mengakibatkan informasi yang disampaikan menjadi tidak akurat dan tidak menggambarkan nilai fundamental perusahaan. Sikap oportunis ini dinilai sebagai sikap curang (fraud) manajemen yang diimplikasikan dalam laporan keuangannya pada saat menghadapi intertemporal choice (Beneish, 2001). Sikap curang tersebut didefinisikan sebagai satu atau lebih tindakan yang disengaja yang didesain untuk menipu orang lain yang menyebabkan kehilangan kekayaannya (financial). Keberhasilan dari sikap ini dinilai ketika manajemen berhasil menyesatkan pemakai laporan keuangan dalam menilai perusahaannya.

Walaupun "logis" dilakukan manajemen karena kesuperiorannya dalam menguasai informasi, rekayasa ini tidak sejalan dengan semangat GCG yang menekankan pentingnya hak pemakai laporan keuangan untuk memperoleh informasi yang akurat dan kewajiban perusahaan untuk memberikan informasi yang akurat (YPPMI & SC, 2002). Chtorou et al. (2001)-dalam penelitiannya yang menguji apakah praktik corporate governance mempunyai pengaruh yang positif terhadap kualitas informasi keuangan yang dipublikasikan-menyimpulkan bahwa penerapan prinsip GCG akan menjadi kendala (constrain) aktivitas earnings management. Penelitian tersebut menggunakan discretionary accruals sebagai proksi rekayasa yang dilakukan manajemen. Beasly et al. (1996) dan Abbott et al. (2000) yang menduga ada hubungan antara penerapan corporate governance dengan berkurangnya kecurangan pada pelaporan keuangan (financial reporting) membuktikan meningkatnya kualitas laporan keuangan karena penerapan prinsip tersebut secara konsisten.

Banyak penelitian yang menguji hubungan antara karakteristik komite audit (committee audit) dan dewan komisaris (board of directors)-syarat penting daalam GCG-dengan upaya earnings management sebagai ukuran keberhasilan penerapan prinsip GCG (Chtourou et al., 2001). Carcello & Neal (2000) dengan menguji proporsi independensi komite audit (committe audit) menyimpulkan adanya hubungan positif antara komite tersebut dengan berkurangnya tekanan manajemen terhadap komite audit pada saat menyusun laporan keuangan. Independensi komite audit merupakan salah satu ukuran penerapan prinsip GCG selain kompetensi dan aktivitas komite audit. Sehingga dapat dikatakan bahwa independensi komite audit mempunyai hubungan positif dengan level rekayasa keuangan yang dilakukan manajemen (Westphal & Zajac, 1997). Sejalan dengan kesimpulan tersebut, Dezoort & Salterio (2001) juga menyimpulkan bahwa komite audit akan mempunyai pengaruh yang positif terhadap rekayasa yang dilakukan manajemen.

Sementara dengan menguji kompetensi anggota komite audit, McMullen & Randghun (1996) menyimpulkan adanya hubungan positif antara kompetensi tersebut dengan menurunnya kemungkinan dilakukannya earnings management. Atau dengan kata lain, semakin kompeten komite audit akan semakin mengurangi kemungkinan praktik rekayasa keuangan yang dilakukan manajemen.

Selain komite audit, dewan komisaris (board of directors) juga merupakan pihak yang mempunyai peranan penting dalam menyediakan laporan keuangan yang reliable. Sehingga secara teoritis keberadaan dewan ini akan mempunyai pengaruh terhadap kualitas laporan keuangan dan dipakai sebagai ukuran tingkat rekayasa yang dilakukan manajemen (Chtourou et al., 2001). Sejalan dengan hal tersebut Beasly (1996) dan Abbots et al. (2000) menguji apakah besarnya dewan komisaris (board size) mempunyai hubungan yang positif dengan kemungkinan kecurangan dalam pelaporan keuangan. Penelitian tersebut tidak menemukan hubungan antara kedua hal tersebut, karena semakin besar dewan direktur semakin tidak efisien dan semakin lemah kontrolnya terhadap manajemen. Lebih lanjut dewan komisaris yang independensi secara umum mempunyai pengawasan yang lebih baik terhadap manajemen, sehingga mengaruhi kemungkinan kecurangan dalam menyajikan laporan keuangan yang dilakukan manajemen (Chtourou et al., 2001). Beasly (1996) juga menemukan hubungan negatif antara besarnya non-executif members dengan tingkat kecurangan tersebut. Sehingga secara singkat dapat dikatakan ada hubungan negatif antara proporsi independensi dewan komisaris dengan level manipulasi yang dilakukan manajemen. Demikian juga kompetensi dewan komisaris yang mempunyai hubungan negatif dengan level manipulasi tersebut. Atau dengan kata lain, semakin kompeten dewan komisaris, semakin mengurangi kemungkinan kecurangan dalam pelaporan keuangan. Maka berdasar uraian di atas, hipotesis dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

H: Ada perbedaan antara rekayasa keuangan yang dilakukan manajemen sebelum dan sesudah penerapan prinsip good corporate governance.

E. Metode Penelitian
1. Sampel dan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa laporan keuangan (annual report) tahun 1995-2000 perusahaan yang listed di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah multiple purposive sampling, dengan kriteria: § Perusahaan yang masuk dalam daftar Corporate Governance Perception Index (CGPI), yaitu daftar yang dibuat oleh The Indonesian Institute of Corporate Governance (IICG). Pemilihan sampel penelitian dari daftar ini karena perusahaan-perusahaan ini mempunyai pemahaman yang baik dan telah melaksanakan prinsip-prinsip GCG. § Perusahaan non-lembaga keuangan, dengan tujuan untuk mengantisipasi kemungkinan pengaruh regulasi tertentu yang dapat mempengaruhi variabel penelitian.

TABEL 1
Sampel Penelitian

Identifikasi Perusahaan Jumlah
Perusahaan yang masuk dalam daftar CGPI 52
Perusahaan lembaga keuangan (9)
Data laporan keuangan tidak lengkap (19)
Jumlah Sampel 24
Sumber: data sekunder diolah, 2002.

2. Definisi dan Pengukuran Variabel
Penelitian ini menggunakan discretionary accruals sebagai proksi rekayasa keuangan yang dilakukan manajemen. Discretionary accruals merupakan selisih antara total accruals dan nondiscretionary accruals. Sedangkan total accruals merupakan selisih antara net income dan cash flow from operations. Total akrual dipecah menjadi komponen discretionary accruals dan nondiscretionary accruals dengan menggunakan modified Jones model (Dechow et al.,1995). Model ini dipakai karena paling baik dalam mendeteksi rekayasa keuangan yang dilakukan manajemen dan memberikan hasil paling robust (Guay et al., 1996; Teoh et al., 1997; Rajgopal et al., 1999).

AC = Net income - Cash flows from operations

Current accruals (CA) didefinisikan sebagai perubahan dalam noncassh current assets dikurangi perubahan dalam operating current liabilities atau dihitung sebagai berikut:

CA = D(current assets-cash) - D(current liabilities-current maturity of long-term debt)

Nondiscretionary accruals (NDA) merupakan accruals yang diekspektasi dengan menggunakan modified Jones model. Expected current accruals sebuah perusahaan ditahun tertentu diestimasi dengan menggunakan cross-sectional ordinary least squere (OLS) regression terhadap current accruals dan perubahan penjualan.

Nondiscretionaty accruals (NDA) dihitung sebagai berikut:

Dimana: = Estimated intercept untuk perusahaan i pada tahun t = Slope untuk perusahaan i pada tahun t
TAI,t-1 = Total assets pada periode t-1
DSales = Perubahan penjualan
DTR = Perubahan dalam piutang dagang

Discretionary current accruals (DCA) untuk sebuah perusahaan pada tahun tertentu dihitung sebagai berikut:

Untuk menghitung discretionary dan nondiscretionary long-term accruals (DLTA dan NDLTA) , harus menghitung discretionary dan nondiscretionary total accruals (DTA dan NDTA). Discretionary total accruals (NDTA) sebuah perusahaan ditahun tertentu dihitung meregresi total accruals (AC) sebagai dependen variabel dan gross property, plant, and equipment (PPE) sebagai additional explanatory variable.

Nondiscretionary total accruals (NDTA) dihitung sebagai berikut:

Dimana: = Estimated intercept perusahaan i pada tahun t = Slope untuk perusahaan i pada tahun t
PPE = Gross property, plant, and equipment
TAI,t-1 = Total assets pada periode t-1

3. Metode Analisis
§ Analisis Deskripstif. Untuk mengestimasi nilai NDTAC dan NDCA dilakukan regresi terhadap nilai perubahan penjualan (change in sales), perubahan piutang dagang, dan gross property, plant, and equipment (PPE) sebagai variabel independennya. Dari nondiscretionary accruals tersebut dihitung discretionary accruals.

§ Uji Beda. Uji beda dilakukan terhadap nilai discretionary accruals sebelum dan sesudah diterapkannya prinsip-pinsip GCG untuk mengetahui tingkat penurunan rekayasa yang dilakukan manajemen. Untuk cut off waktu penerapan prinsip GCG digunakan tulisan dalam buku "The Essence of Good Corporate Governance" yang menyebutkan prinsip tersebut diterapkan di Indonesia sejak ditandatanganinya LOI antara Indonesia dan IMF, yaitu tahun 1998 (YPPMI & Sinergy Communication, 2002: 173). Sehingga periodesasi penerapan prinsip GCG dilakukan sebagai berikut:
1. Tahun 1996-1997 merupakan periode sebelum diterapkannya prinsip GCG.
2. Tahun 1998 dipakai sebagai cut off periode penerapan prinsip GCG.
3. Tahun 1999-2000 merupakan periode kewajiban penerapan prinsip GCG.

F. Hasil dan Analisis
Dengan menggunakan modified Jones model untuk memisahkan total accruals menjadi discretionary accruals dan nondiscretionary accruals. Penelitian menggunakan discretionary accruals perusahaan sampel selama lima tahun, yaitu tahun 1996 (t-2) dan 1997 (t-1) sebagai periode sebelum diterapkannya prinsip-prinsip GCG, tahun 1998 (t) sebagai tahun munculnya kewajiban penerapan prinsip GCG, serta 1999 (t+1) dan 2000 (t+2) sebagai periode kewajiban penerapan prinsip GCG. Hasil penghitungan discretionary accruals ditunjukkan di Tabel 2.


TABEL 2
Discretionary Accrual Selama Periode Pengamatan

t-2 t-1 t t+1 t+2
Mean -25009.92 -222806.60 -376456.40 -310024.20 -331029.60
Median -11836.00 -63629.00 -414736.00 -144192.50 -166891.00
Sumber: data sekunder diolah, 2002.

Tabel 3 menunjukkan nilai mean dan median discretionary accruals selama periode bernilai negatif. Hal ini merupakan indikasi bahwa rekayasa yang dilakukan manajemen bersifat income decreasing. Kondisi ini terjadi karena kemungkinan besar manajemen bersikap konservatif dalam melaporkan kinerjanya, yaitu dengan mengakui biaya masa depan (future cost) menjadi biaya sekarang (current cost) yang mengakibatkan kinerja lebih rendah dari kinerja fundamentalnya. Tabel 3 juga menunjukkan bahwa nilai discretionary accruals tahun 1996 (t-2) dan 1997 (t-1) (-25009.92 dan -222806.60) lebih tinggi dibanding dengan nilai discretionary accruals tahun 1999 (t+1) dan 2000 (t+2) (-310024.20 dan -331029.60). Penurunan nilai discretionary accruals yang mencolok ini di tahun 1999 (t+1) dan 2000 (t+2) kemungkinan besar karena pengaruh krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997. Tahun 1998 (t) mempunyai nilai discretionary accruals paling rendah, yaitu -376456.40. Hal ini terjadi karena kemungkinan besar pada tahun tersebut krisis ekonomi di Indonesia mencapai puncaknya.

GRAFIK 1
Discretionary Accrual Selama Periode Pengamatan

Sumber: data sekunder diolah, 2002.
Selanjutnya discretionary accruals akan dipecah menjadi dua, yaitu discretionary current accruals-akrual yang dihitung dari aktiva lancar-dan discretionary long-term accruals-akrual yang dihitung dari aktiva tetap. Pemecahan ini untuk mengidentifikasikan apakah rekayasa keuangan yang dilakukan terhadap aktiva lancar ataukah aktiva tetap. Hasil pemecahan ditunjukkan di Tabel 3.


TABEL 3
DCA dan DLTA Selama Periode Pengamatan

t-2 t-1 t t+1 t+2
Discretionary Cuurent Accruals (DCA)
Mean -0.0560 -0.0210 -0.0260 -0.0130 0.0106
Median 0.0000 -0.0210 -0.0110 -0.0510 0.0384
Discretionary Long-term Accruals (DLTA)
Mean -25009.92 -222806.60 -376456.40 -310024.20 -331029.60
Median -11836.00 -63629.00 -414736.00 -144192.50 -166891.00
Sumber: data sekunder diolah, 2002.

Tabel 3 menunjukkan nilai DLTA untuk semua periode pengamatan selalu lebih besar daripada nilai DCA. Hal ini mengindikasikan manajemen cenderung memilih menggunakan item yang aktiva tetap (dan aktiva jangka panjang) untuk melakukan rekayasanya. Selanjutnya uji beda (t-test) akan dilakukan terhadap nilai discretionary accruals sebelum dan sesudah penerapan prinsip good corporate governance pada tahun 1998. Nilai discreationary accruals sebelum penerapan merupakan rata-rata discretionary accruals t-2 dan t-1 (1996 dan 1997). Sedangkan nilai discretionary accruals sesudah penerapan merupakan rata-rata discretionary accruals t+1 dan t+2 (1999 dan 2000). Hasil pengujian ditunjukkan pada Tabel 4.


T ABEL 4
Uji Beda Sebelum dan Sesudah Penerapan GCG

p-value t-value
Sebelum-sesudah 0.291 -1.081
Sumber: data sekunder diolah, 2002.
Keterangan : * : Signifikan pada level 0.05 (2 sisi)
** : Signifikan pada level 0.10 (2 sisi)

Hasil pengujian terhadap discretionary accruals menunjukkan discretionary accruals sebelum dan sesudah penerapan prinsip good corporate governance tidak berbeda secara signifikan. Nilai p-value 0.291 dan t-value -1.081 mengindikasikan tidak ada perbedaan yang signifikan antara rekayasa kinerja yang dilakukan manajemen sebelum dan sesudah kewajiban penerapan prinsip GCG.

G. Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan untuk mendukung dugaan bahwa penerapan prinsip good corporate governance (GCG) secara signifikan akan mengurangi upaya rekayasa keuangan yang dilakukan manajemen. Namun penelitian ini tidak berhasil membuktikan dugaan tersebut, karena dari hasil uji beda terbukti tidak adanya perbedaan tingkat rekayasa antara sebelum dan sesudah kewajiban penerapan prinsip tersebut, sehingga bisa disimpulkan bahwa GCG belum berhasil diterapkan di Indonesia. Hasil ini tidak konsisten dengan penelitian-penelitian terdahulu yang menguji hubungan penerapan prinsip tersebut dengan rekayasa (earnings management) yang dilakukan manajemen perusahaan, misalnya Beasly (1996), McMullen & Randghun (1996), Westphal & Zajac (1997), Abbott et al. (2000), Carcello & Neal (2000), Chtourou et al. (2001), Dezoort & Salterio (2001). Selain hasil tersebut, hal menarik yang ditemukan dalam penelitian ini, yaitu (1) manajemen memilih menggunakan item aktiva tetap dan jangka panjang sebagai dasar rekayasa keuangan dan (2) manajemen menggunakan earnings management berpola income decreasing (penurunan laba) untuk melakukan rekayasanya yang diindikasikan dari nilai discretionary accruals yang negatif. Sedangkan setelah tahun 1998, income decreasing yang terjadi kemungkinan besar juga dipengaruhi oleh krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan 1997-an.

H. Keterbatasan dan Implikasi
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah: (1) data yang digunakan relatif sedikit yang disebabkan peneliti kesulitan memperoleh data dalam jangka panjang untuk perusahaan-perusahaan yang masuk dalam daftar Perception Index of Corporate Governance (PICG) dan (2) cut off waktu pemisahan periode sebelum dan sesudah penerapan prinsip-prinsip good corporate governance secara metodologis masih lemah karena menggunakan asumsi. Implikasi dari keterbatasan tersebut adalah (1) menghilangkan pengaruh krisis ekonomi yang mempunyai kemungkinan mempengaruhi variabel penelitian dan (2) membandingkan manipulasi yang dilakukan perusahaan sampel dengan perusahaan yang tidak masuk daaaalam daftar PICG (matched pair design). Selain hal tersebut, penelitian diharapkan dapat dapat menjadi masukan bagi pemerhati dan pembuat keputusan yang berkaitan dengan penerapan GCG di Indonesia.

Century Bank

Kasus Bank Century mencerminkan lemahnya pengawasan Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral terhadap bank-bank umum. "Masalah Bank Century bukan hanya soal administrasi, tetapi soal lemahnya BI," kata Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR RI Harry Azhar Azis di Gedung DPR/MPR Jakarta, Selasa (25/11).

Sesuai ketentuan, kata Harry, bank-bank umum mendapat pengawasan ketat dari bank sentral. "Seharusnya kasus seperti ini sudah bisa diketahui tiga bulan sebelumnya," katanya.
Lemahnya pengawasan juga terjadi pada bank Indover. Dia berharap mekanisme pengawawan bank sentral terhadap bank-bank umum ditingkatkan agar kasus kedua bank tersebut tidak terjadi pada bank lain dan masyarakat dapat terhindar dari kerugian.
Kasus Bank Indover telah dilaporkan Deputi Senior BK Miranda Goeltom kepada Ketua DPR Agung Laksono, akhir Oktober 2008. Inti laporan itu adalah etrjadinya pembekuan operasi Bank Indover oleh Bank Sentral Belanda (DNB) pada Oktober 2008.
Bank Indover mengalami kesulitan likuiditas akibat penurunan secara drastis "money market line" sebagai dampak gejolak pasar keuangan global.
Agung laksono mengakui, BI sebagai pemegang 100 pesren saham Bank Indover telah meminta pendapat DPR. Pada intinya, DPR tidak keberatan apabila BI selaku pemilik melakukan langkah-langkah untuk menangani permasalahan Bank Indover.
Namun diingatkan agar langkah yang akan ditempuh BI tetap memeprhatikan dan tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. Agung mengemukakan, perlu dilakukan investigasi atas kasus Bank Indover dan siapapun yang terlibat dalam pelanggaran hukum harus ditindak.
DPR memahami keputusan BI untuk tidak menyelematkan Bank Indover agar BI tidak menanggung resiko hukum di kemudian hari, sebagaimana kasus BLBI yang belum tuntas.
RIBUT-RIBUT soal pengucuran dana penyelamatan Bank Century terus berlanjut walaupun Menteri Keuangan Sri Mulyani berulang kali mengatakan penyelamatan terhadap bank kecil itu telah sesuai dengan peraturan.

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah mengucurkan dana sebesar Rp6,7 triliun kepada Bank Century atas rekomendasi pemerintah dan Bank Indonesia. Padahal, dana yang disetujui DPR hanya sebesar Rp1,3 triliun.

Misteri itulah yang ditindaklanjuti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit investigasi terhadap bank.

Tidak hanya KPK, DPR pun meminta BPK mengaudit proses bailout tersebut. Itu karena sebelumnya DPR pada 18 Desember 2008 telah menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK) sebagai payung hukum dari penyelamatan bank milik pengusaha Robert Tantular itu.

Kasus Bank Century telah memperlihatkan kepada kita bahwa ada bank kecil yang mendapatkan dukungan besar dari otoritas keuangan dan bank sentral. Pertanyaannya adalah semangat apakah yang melatarinya?

Argumentasi yang muncul dari pihak berwenang sejauh ini adalah bahwa proses penyelamatan Bank Century telah sesuai dengan prosedur yang ditetapkan dalam UU LPS dan perintah dari Komite Stabilitas Sistem Keuangan.

Bahwa pembiayaan yang dikeluarkan LPS untuk menyelamatkan Bank Century berasal dari kekayaan LPS, bukan uang negara.
Saat likuidasi Bank Century, terdapat 23 bank yang masuk pengawasan BI. Dan pengambilalihan itu bertujuan memberikan rasa kepercayaan kepada masyarakat untuk mencegah rush yang bila dibiarkan, akan berdampak sistemik terhadap perekonomian nasional.

Terlepas dari argumen pemerintah, BI, dan LPS, yang harus diuji kebenarannya, kasus Bank Century dalam level tertentu diperkeruh isu transparansi yang dipertanyakan banyak kalangan.

Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan tegas menyatakan ia sama sekali tidak tahu tentang proses bailout bank tersebut karena tidak pernah mendapatkan laporan dari Sri Mulyani saat kebijakan itu diambil.

Adalah aneh, seorang wakil presiden yang selama ini dikenal sebagai driving force dalam kebijakan ekonomi tidak mengetahui dan tidak dilapori. Ketidaktahuan Wapres menjadi bukti bahwa transparansi menjadi persoalan serius yang harus dituntaskan dalam isu bailout ini.

Kasus Bank Century juga tidak terlepas dari isu tidak sedap mengenai dugaan keterlibatan petinggi kepolisian. Terkait dengan persoalan di Bank Century pernah muncul sebuah polemik tentang cicak versus buaya antara kepolisian dan KPK. Ini juga menjadi tanda tanya tersendiri yang harus diungkap.

Ada pula isu bahwa penyelamatan Bank Century dilakukan semata untuk menyelamatkan dana nasabah tertentu.

Masih banyak misteri yang melingkupi kasus penyelamatan Bank Century. Karena itu, audit investigasi BPK harus dilakukan dengan tuntas.

Jangan sampai ada penumpang gelap yang bermain dengan mengatasnamakan penyelamatan ekonomi nasional.

Pertanyaan yang amat mengganggu bukanlah pada alasan mengapa Bank Century harus diselamatkan. Namun, pada mengapa untuk sebuah bank kecil dengan aset yang juga kecil harus dikucurkan dana yang begitu besar? Apalagi pemilik bank itu sedang terlibat kasus pidana penggelapan uang nasabah?

Apakah semua kejahatan pidana pemilik bank harus ditanggulangi negara? Jadi, soal mengapa sudah transparan. Yang belum terang benderang adalah soal jumlah yang sangat besar.